Tak heran jika Indonesia semakin panas. Karena global warming telah menampakan batang hidungnya. Suhu udara meningkat, banyak pulau yang telah hilang, gletser mencair, dan hutan sebagai “Bapak Penyelamat” tampak tak tebal di Negara Tropis ini,
Seperti yang telah banyak dikumandangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah dan organisasi-organisasi peduli lingkungan untuk membuang sampah pada tempatnya. Artikel ini pun akan kembali melugaskan kata “Buanglah sampah pada tempatnya!”. Dalam kalimat itu kita tidaklah diperintahkan untuk membayar sejumlah uang, bekerja di depan komputer berjam-jam, ataupun mengerjakan soal fisika. Hanya membuang sampah yang kita hasilkan sendiri ke tempat yang semestinya. Hal itu amat mudah, semudah membalikan telapak tangan.
Namun tindakan membuang sampah menjadi semudah membalikan telapak kaki jika tempat sasaran alias tempat sampah tidak ada. Sering kali penulis menjumpai masalah demikian. Alhasil saku baju pun penuh dengan sampah. Jika ada sampah yang ingin dibuang lagi, haruskah penulis meletakkanya di balik kerah kemeja? Tentu tidak! Memang saya tempat sampah! Professor sekali pun pasti langsung membuang sampah-sampah tersebut begitu saja.
Contoh kecil adalah tempat pengisian bahan bakar. Pernah saya kunjungi suatu pom bensin yang bagus sekali dengan berupa-rupa kelap kelip lampu dan beraneka food court didalamnya. Namun tempat sampah sulit sekali ditemui, apa sulit menyediakan satu atau dua tempat sampah di setiap food court? Bahkan harga makanan yang dijual pun lebih mahal daripada harga tempat sampah pada umumnya.
Inilah hal yang kurang diperhatikan pemerintah dan antek-anteknya, menghimbau namun tidak memerhatikankan sarana penunjangnya. Bukankah lebih baik banyak tempat sampah dibandingkan banyak sampah bergelimang? Hal tersebut perlu diperhatikan dan dikerucutkan pada tempat-tempat yang ramai. Sehingga niat baik untuk membuang sampah dapat tersalur. (Indah)
No comments:
Post a Comment