Menjamurnya perkebunan, hotel, pemukiman penduduk, bahkan objek pariwisata di lahan hijau merupakan hasil dari konversi hutan yang berlebihan. Tentunya konversi hutan alam yang berlebihan tersebut mengakibatkan dampak-dampak buruk yang menghambat kelangsungan kehidupan setiap makhluk hidup di wilayah tersebut, salah satunya kehidupan hewan liar yang habitatnya telah beralih fungsi demi kepentingan pribadi manusia.
Di Kalimantan, satwa liar tidak dapat lagi menjelajahi habitatnya yang telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, Orang Utan sebagai salah satu jenis satwa yang dilindungi, dianggap musuh atau hama oleh para manager kebun kelapa sawit, serta penggunaan herbisida dan pestisida dapat mempengaruhi komposisi jenis satwa dan mencemari aliran air. Bahkan sering kita lihat di televisi kejadian hewan liar mengamuk atau berkeliaran di pemukiman penduduk. Misalnya, di Riau yang mengakibatkan matinyaenam gajah di kebun kelapa sawit bekas hutan Mahato di perbatasan Riau-Sumatra Utara serta mengamuknya 17 gajah di Desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis pada 2009 lalu. Kemudian, harimau sumatra yang memangsa ternak milik penduduk desa di kawasan Sipirok, Tapanuli Selatan. Lalu, gajah yang mengamuk di Langkahan, Aceh menghancurkan beberapa rumah dan memporak porandakan perkebunan rakyat.
Yang sering dijadikan solusi hingga kini ialah penangkapan satwa yang tidak jarang berujung pada kematian satwa atau membawanya ke pusat rehabilitasi satwa, sementara di lain pihak konversi hutan terus berlanjut. Berdasarkan data WWF Indonesia, konversi lahan yang terjadi di hutan Balai Raja sejak tahun 1986 amat mencengangkan. Tutupan hutan yang menjadi habitat gajah dan harimau sumatera itu tinggal 260 hektar pada tahun 2005. Sedangkan, pada tahun 1986 ketika bersamaan ditetapkan sebagai suaka margasatwa, tutupan hutan Balai Raja masih sekitar 16.000 hektar. Rumah bagi kedua jenis satwa dilindungi itu pun menyusut drastis hingga dalam tujuh tahun terakhir, populasi gajah sumatera berkurang dari sekitar 700 ekor menjadi 350 ekor.
Sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila lokasi yang akan dikonversi telah mempertimbangkan dengan benar aspek keanekaragaman hayati kawasan hutannnya serta dampak pembangungan bagi kawasan lainnya. Namun, langkah yang dinilai paling tepat ialah mengurangi atau bahkan menghentikan laju konversi hutan alam untuk menekan potensi konflik antara manusia dengan satwa. (tre)
No comments:
Post a Comment